Kepada kelompok ini, yang berkepribadian mulia, yang berhati jernih, yang
bercita-cita tinggi, yang berjiwa terhormat, yang cinta bekerja, dan menjadi
tumpuan harapan, dimana seorang penyair telah putus asa mendapatkan orang
semacamnya:
Telah sekian lama ‘ku bergaul dengan banyak orang
pengalaman demi pengalaman menempaku
tiada hari datang kepadaku
kecuali menyenangkan di jumpa-jumpa pertama
namun menyakitkan jua di akhirnya
kami katakan,
“Kalian kini berada di hadapan seruan dakwah yang baru. Kaum muda menyeru
kalian untuk bekerja bersama mereka dan bergaul dengannya untuk menuju suatu
tujuan, yang ia adalah cita-cita setiap muslim dan harapan setiap mukmin.
Adalah hakmu bertanya tentang sejauh mana persediaan sarana operasional jamaah.
Dan kewajibanmu pula untuk mengetahui lebih dalam apa-apa yang diserukannya
kepadamu.
Saya merasa kagum akan kejujuran
dan ketulusan mereka untuk bergabung dengan jamaah kita. mereka minta
penjelasan terhadap setiap kata dan setiap ungkapan kepada saya. Mereka
mengkonsultasikan setiap sarana yang dipergunakan, hingga jika sudah merasa
puas, mereka segera menyampaikan pesan-pesannya dengan keyakinan yang bulat,
jelas maksudnya, dan riil pula dampaknya. Mereka senantiasa bekerja dengan
kesungguhan yang penuh hingga saat ini, dan saya berharap akan terus begitu
dengan izin Allah swt. Namun demikian, saya mempunyai beberapa catatan untuk
mereka, antara lain:
Daripada mereka membuang waktu untuk berbagai pertanyaan ini, bukankah
lebih baik jika bergabung saja dengan jamaah dan bekerja didalamnya? Jika
mereka melihat kebaikan disana, itulah yang semestinya. Namun jika selain itu
yang dilihat, maka jalan untuk keluar dan melepaskan diri darinya demikian
jelas membentang, apalagi pintunya ada di dua tempat: tempat masuk dan tempat
keluar. Aktivitas jamaah begitu jelas, tidak ada yang tersembunyi dan tidak ada
pula misterius. Dahulu ada cerita bahwa para ahli nahwu berselisih pendapat
tentang jumlah bait Alfiyah (pelajaran nahwu yang dipuitisasikan ) Ibnu
Malik. Perselisihan ini telah memancing perdebatan serius yang justru tidak
mendatangkan manfaat apa pun, hingga akhirnya datanglah salah seorang tokoh
mereka dengan membawa bukunya dan berkata, “Inilah dia, hitunglah dan
sepakatlah.” maka dengan itulah perselisihan bisa diselesaikan.
Inilah Jam’iyah Ikhwanul
Muslimin, wahai sahabatku. Di setiap tempat, ia menyeru orang dan membuka
pintunya lebar-lebar sembari berkata, “Marilah, jika anda lihat sesuatu yang
menyenangkan hati, maka bergabunglah bersama dengan berkah Allah. Jika tidak
melihat yang demikian, maka berkatalah sebagaimana yang dikatakan Basyar:
Jika suatu negeri mengingkari
Atau aku mengingkarinya
Aku pun segera keluar bersama burung-burung
Dan penduduknya
Tidakkah mereka tahu bahwa jamaah
itu tiada lain adalah sekumpulan individu yang terikat? Jika setiap individu
bertanya dengan pertanyaan “Maka di manakah jamaah itu sebenarnya?” ini adalah
tipuan logika belaka yang-sayangnya-banyak diikuti orang. Jika anda ingin
mengenalkan kursi misalnya, anda akan mengatakan bahwa ia adalah benda yang
terdiri dari tiga unsur tempat duduk, sandaran dan empat buah kaku. Akan tetapi,
tahukah bahwa definisi seperti ini sesungguhnya tidak benar dan menipu belaka?
Kenapa demikian, karena apakah benda itu sesuatu yang ada di luar ketiga unsur
tersebut? Jika anda pisahkan kursi itu
dari kaki-kakinya, tempat duduk, dan sandarannya, apakah masih ada sebuah benda
yang bisa diidentifikasi sebagai berwujud?
Demikian juga, orang banyak
tertipu dalam memahami hakekat jamaah dan individu. Mereka mengira bahwa jamaah
itu sesuatu sedangkan individu adalah sesuatu yang lain. Padahal jamaah itu
tidak lain kecuali kumpulan dari individu-individu, dan individu-individu itu
adalah komponen bangunan jamaah itu sendiri. Apabila komponen bercerai-berai
dan setiap mereka bertanya dengan pertanyaa “Lalu di mana jamaah itu?” siapa
yang bertanya dan siapa yang ditanya? Kita sering memahami secara keliru
seperti demikian ini disebabkan oleh kebiasaan kita bersikap kurang bertanggung
jawab; kita menimpakan beban tanggung jawab hanya pada pundak seseorang.
Berikutnya lahirlah sikap masa bodoh, tidak tahan uji menghadapi keadaan, dan
tidak kunjungan melangkah lebih maju.
Kami serukan kepada para putra
Islam yang memiliki semangat bahwa seluruh jamaah Islam di masa kini sangat
membutuhkan munculnya pribadi aktivis sekaligus pemikir dan anasir
produktivitas yang pemberani. Maka haramlah hukumnya bagi orang semacam ini
untuk tertinggal dari kafilah, meskipun sesaat. Dan tidakkah mereka
memahami-semoga Allah memberinya dukungan-bahwa hendaknya mereka segera
bergabung dengan jamah ini. Jika mereka menjumpai bahwa jamaah ini adalah
jamaah yang aktif sebagaimana mestinya, maka berbahagialah. Namun jika merka
tidak menjumpai yang demikian itu, tunjukkan kepribadian dan kekuatan
pengaruhnya untuk membangun apa-apa yang seharusnya ada. Kalau ternyata apa
yang mereka upayakan tidak bisa diterima, mereka telah mendapatkan pemakluman
dari tuhan dan dirinya. Apalagi jika orang-orang yang menyeru dakwah ini adalah kaum yang
mengetahui bahwa diatas orang yang memiliki pengetahuan dan Dzat yang Mahatahu,
dan bahwa setiap orang yang memiliki pendapat berhak menyampaikan pendapatnya.
Lihatlah Rasulullah saw. Jika dibanding dengan manusia seluruhnya, pendapatnya
adalah sebenar-benar pendapat dan pemikirannya adalah sematang-matang
pemikiran, namun ia mengambil juga pendapat Hubaib ra. Di perang Badar dan
pendapat Salam di perang khandaq. Mereka tentu saja sangat bahagia, karena ada
yang mengambil pendapatnya untuk suatu pekerjaan yang benar.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa
jika mereka telah mencoba sekali, dua kali, atau lebih dari itu, namun belum
juga berhasil, janganlah putus asa. Mereka harus ‘memainkan bola’ terus-menerus
sehingga menciptakan ‘gol’ pada saatnya. Jika mereka tergesa-gesa dan cepat
putus asa, hilanglah kesempatannya untuk memperoleh keberuntungan itu.
Hal ini persis sebagaimana kisah
seorang pemburu ikan. Suatu saat ia mendapat ikan yang besar. Lalu ia melihat
di dasar air itu ada rumah karang yang disangkanya mutiara. Demi melihat itu,
ditinggalkanlah ikan yang sudah di tangan untuk mengambil rumah karang. Ketika
ia melihat dari dekat, menyesallah hatinya. Kemudian ia melihat ikan kecil
membawa mutiara, namun ia tidak mengacuhkannya karena disangka rumah karang.
Akhirnya ia hanya mendapatkan ikan kecil, serta kehilangan ikan besar dan
mutiara, sesuatu yang berlipat-lipat lebih berharga, atau seperti seekor itik
di suatu danau. Ia melihat bayangan di dasar air yang disangkanya ikan. Ia
berusaha menjulurkan paruhnya untuk mendapatkannya. Ia mematuknya berkali-kali
hingga kecapaian lalu ditinggalkan dengan perasaan marah. Sejenak kemudian
berlalulah ikan dihadapannya. Ia acuh tak acuh karena menganggapnya bayangan.
Lalu ia pun meninggalkannya. Dengan begitu ia merugi dan kehilangan kesempatan
berharga dan sirnalah pula harapannya.
Inilah beberapa catatan, yang
perlu saya sampaikan kepada orang-orang yang ingin beraktivitas dalam Islam
dari kalangan putra-putranya. Saya pikir ini patut direnungkan dalam-dalam.
Kami serukan dakwah Ikhwanul Muslimin ini kepada mereka. Hendaklah mereka
mencoba bergabung dengannya. Jika mereka mendapati kebaikan, dukunglah dan jika
mendapati kebengkokan, luruskanlah. Jangan sampai percobaan mereka menjadi
penghalang bagi kemajuan bersama. Saya berharap mereka menyaksikan pada diri
Ikhwan pemandangan yang menentramkan hati-hati, insya Allah. Saya akan
menyampaikan lagi sebagian keterangan pada kesempatan mendatang.
(Dimuat oleh harian Ikhwanul Muslimin, Edisi XV, 6 Jumadil Ula 1353 H)